Time

Date

Jumat, 03 Desember 2010

Suka Membodohkan Orang, Tanda Ilmu Tak Bermanfaat

Jumat, 03 Desember 2010
0 komentar
Suatu saat beberapa sahabat Al Hasan Al Bashri menyebutkan beberapa definisi tawadhu’, namun beliau diam saja. Saat definisi semakin banyak disebut, beliau mengatakan,”Aku menilai kalian telah banyak menyebut apa itu tawadhu’.”

Akhirnya mereka balik bertanya, “Apa tawadhu’ itu menurut Anda?”

Al Hasan Al Bashri menjawab, “Seorang keluar dari rumahnya, maka ia tidak bertemu seorang Muslim, kecuali mengira bahwa yang ditemui itu lebih baik dari dirinya.” (Az Zuhd, hal. 279)

Apa yang disebutkan Al Hasan Al Bashri mirip dengan nasihat Imam Al Ghazali mengenai tawadhu’. Beliau mengetakan,”Janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali engkau menilai bahwa ia lebih baik darimu. Jika melihat anak kecil, engkau mengatakan,’Ia belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukannya, maka ia lebih baik dariku’. Jika melihat orang yang lebih tua, engkau mengatakan, ‘Orang ini telah melakukan ibadah sebelum aku melakukannya, maka tidak diragukan bahwa ia lebih baik dariku.’ Dan jika ia melihat orang alim (pandai), maka ia berkata,’Ia telah diberi Allah ilmu lebih dibanding aku dan telah sampai pada derajat yang aku belum sampai kepadanya.’ Kalau ia melihat orang bermaksiat, ia berkata, “Ia melakukannya karena kebodohan, sedangkan aku melakukannya dan tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Maka, hujjah Allah kepadaku akan lebih kuat.’” (Maraqi Al Ubudiyah, hal. 79)

Maka seyogyanya kita selalu melihat ke dalam diri kita sendiri dan tidak sibuk menghakimi orang lain, karena disamping bisa jadi sebenarnya mereka lebih baik dari kita, hal demikian bisa menimbulkan sifat ujub.

Sebab itulah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan,” Jika seorang laki-laki berkata ‘manusia telah celaka’, maka ialah yang paling celaka.” (Riwayat Muslim)

Imam Al Khattabi menjelaskan bahwa kemungkinan orang yang mengatakan demikian menimbulkan sifat ujub kepada dirinya dan menilai bahwa pada manusia sudah tidak terdapat sifat kebaikan. Dan merasa bahwa dirinya lebih baik dari mereka. Maka pada hakikatnya, orang ini telah celaka. (lihat, Al Adzkar, hal. 574)

Imam Malik pun berpendapat bahwa kalau pelakunya mengatakan hal demikian karena ujub dan meremehkan manusia terhadap dien mereka, maka itu hal yang dibenci dan yang terlarang. Namun jika mengatakannya karena merasa prihatin, maka hal itu tidak mengapa. (lihat, Al Adzkar, hal. 575)

Tanda-tanda Ilmu Bermanfaat

Salah satu hal yang menyebabkan seseorang rawan kehilangan sifat tawadhu’nya adalah ilmu yang dimiliki. Karena merasa memiliki ilmu, terkadang seseorang dengan mudah membodoh-bodohkan manusia. Sebab itulah Al Hafidz Ibnu Rajab dalam karya beliau, Fadhl Ilmi As Salaf ala Ilmi Al Khalaf, memberi penekanan khusus tentang hal ini.

Beliau mengatakan, ”Adapun tanda-tanda ilmu tidak bermanfaat adalah, seseorang tidak memiliki kesibukan kecuali takabbur dengan ilmunya di hadapan manusia. Dan menunjukkan kelebihan ilmunya kepada mereka. Serta merendahkan meraka, untuk meninggikan posisinya terhadap mereka. Ini merupakah hal yang terburuk dan paling menjijikkan dari yang diperoleh. Bisa jadi ia menisbatkan para ulama sebelumnya sebagai dengan kebodohan, kelalaian dan kealphaan.”

Kemudian beliau mengatakan, ”Adapun tanda-tanda ilmu bermanfaat adalah suudzan terhadap diri sendiri dan husnudzan terhadap para ulama sebelumnya. Mengakui dalam hati dan jiwa terhadap kelebihan para ulama sebelum mereka dibanding dirinya dan ketidakmampuannya menyamai posisi mereka untuk sampai atau mendekati derajat mereka.” (lihat, Shafhat min Shabri Al Ulama, hal. 378)

Mudah-mudahan kita semua dianugerahi sifat-sifat tawadhu’ dan dijauhkan dari sifat-sifat tercela seperti kibr dan ujub, hingga tercatat sebagai dalam golongan orang-orang yang ilmunya bermanfaat. 


[tho/hidayatullah.com]

read more

Rabu, 01 Desember 2010

Sudahkan Anda Merasakan Nikmatnya Ibadah?

Rabu, 01 Desember 2010
1 komentar
Sesungguhnya ibadah itu memiliki rasa nikmat, kebahagiaan dan ketentraman yang hanya bisa diketahui oleh orang yang merasakannya. Bahkan, kesempurnaan ibadah seseorang ditandai kalau dia bisa merasakan bahwa ibadah itu nikmat. Karenanya, ia akan mengesampingkan segala kenikmatan dunia untuk mencapai kenikmatan tersebut. 

Kenikmatan ibadah merupakan buah dari keimanan yang menancap kuat dalam diri seorang hamba lalu dibuktikannya dengan melaksanakan ibadah dan beramal shalih. Maka dalam ibadah dan amal shalih yang didasari iman dan muncul dari keimanan yang bisa melahirkan kenikmatan dan kelezatan serta kebahagiaan.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda berkaitan dengan kenikmatan ibadah ini,
ذَاقَ طَعْم الْإِيمَان مَنْ رَضِيَ بِاَللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا
“Pasti akan merasakan manisnya iman orang yang ridla Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien/aturan hidup, dan Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al Abbas bin Abdil Muthalib).
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, kalau tiga keridlaan ini ada dalam diri seseorang maka dia menjadi orang yang benar-benar jujur dalam beriman. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu lagi, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al Hujurat: 15)

Dalam Shahihain, dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “tiga hal yang terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, tidaklah ia mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan ia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.

Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Abu Razin al ‘Uqaili rahimahullah, “apabila kamu seperti itu maka benar-benar iman sudah masuk ke dalam hatimu sebagaimana masuknya kecintaan kepada air bagi orang yang kehausan di tengah hari yang terik.
Makna manisnya iman adalah nikmatnya melaksanakan ketaatan dan menanggung beban berat dalam melaksanakan sesuatu yang diridlai Allah 'Azza wa Jala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam serta mengutamakan hal tersebut atas tawaran dunia. 

Ibnul Qayim bercerita tentang gurunya, Ibnu Taimiyah: “sungguh aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “sesungguhnya di dalam dunia ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan bisa memasuki surga akhirat.”
Pada suatu hari ia juga bercerita kepadaku, “apa yang yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku. Kemanapun aku pergi ia selalu bersamaku. Sungguh penjaraku adalah khalwat (menyepi)ku bersama Allah, kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiran diriku dari negeriku adalah tamasya.” 

Dalam penjaranya di sebuah benteng, Ibnu Taimiyah berkata, “jika benteng bersama isinya ini diganti dengan emas, tentu itu tidak imbang dengan nilai syukurku kepada Allah atas nikmat ini.” Atau dengan ungkapan lain, pahala kebaikan dari ibadah yang dilakukannya di dalam benteng penjaranya tidak bisa diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. 

Dalam sujud di tempat penjaranya, beliau berdoa, “Ya Allah mudahkanlah diriku untuk berdzikir kepadamu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadah kepada-Mu.” Kemudian beliau berkata kepadaku, “penjara adalah untuk orang yang ingin memenjarakan hatinya hanya buntuk Allah, sedangkan istana adalah untuk orang yang ingin mengumbar nafsunya.” 

Ketika Ibnu Taimiyaha sudah ke dalam benteng penjara dan ia melihar pagar tembok tinggi yang memagarinya, maka ia membaca ayat Al Qur’an,
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ
lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di bagian dalamnya ada rahmat dan di bagian luarnya ada adzab.” (QS. Al Hadid: 13)

Demi ilmu Allah, dan aku tidak melihat seseorang pun yang hidupnya lebih bahagia daripada Ibnu Taimiyah, walaupun ia berada pada sempitnya penghidupan, tiadanya kesejahteraan dan kenikmatan. Justru aku melihat kebalikannya. Memang ia berada dalam penjara, intimidasi dan siksaan, namun ia adalah manusia yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya dan paling tenang jiwanya sampai kebahagiaan dan kedamaiannya memancarkan cahaya di wajahnya.
Jika kami dihantui ketakutan dan dihimpit urusan dunia, maka kami datang kepadanya. Tatkala kami melihatnya dan mendengarnya petuahnya, maka hilanglah segala ketakutan dan kehinaan. Setelah itu kami menjadi bahagia, kuat, yakin, dan tenang. Mahasuci Allah yang telah menunjukkan surga kepada hamba-hamba-Nya sebelum mereka bertemu dengan-Nya. Maha Suci Allah yang telah membukakan pintu-pintu surga di dunia sehingga mereka merasakan kedamaian, kebahagiaan, dan kebaikan selama mereka terus berusaha dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya.” (Al Wabilush Shayyib, karya Ibnul Qayim, hal. 63)

Sebagian ulama mengatakan, “orang miskin di dunia yang sebenarnya adalah orang yang meninggalkan dunia, sementara mereka belum pernah merasakan yang paling indah di dalamnya, yaitu cinta kepada Allah dan beribadah kepada-Nya.”
Orang-orang shaleh merasakan kebahagiaan hidup dengan shalat, ibadah dan dzikir malam. Karena itu ada ada salah seorang dari mereka sampai mengatakan, “selama empat puluh tahun aku tidak meras sedih melainkan sedih atas datangnya waktu siang.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “ketika matahari terbenam, aku akan menjadi bahagia. Karena dalam kegelapan malam aku bermunajat kepada Allah.”
Abu Sulaiman ad Darani rahimahullah berkata, “kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang beribadah pada malam hari lebih terasa nikmat daripada hiburan orang-orang yang berfoya-foya di siang hari. Jika bukan karena waktu malam, maka aku tidak suka berlama-lama hidup di dunia.” 



read more

Selasa, 30 November 2010

Islam Mengajari Kita Cinta

Selasa, 30 November 2010
0 komentar
Beruntunglah kita sebagai seorang muslim. Kita tak perlu ada perayaan khusus tentang cinta karena semua hari adalah penuh cinta. Betapa Rasul Muhammad tercinta memberikan tauladan pada kita untuk mencintai sesama. Sampai-sampai banyak bertaburan hadits tentang bagaimana adab dengan tetangga, teman, orang tua, adik, kakak bahkan sesama muslim seluruh dunia.

Cinta ini nyata, bukan hanya bualan semata. Ketika seseorang memasak makanan dan baunya tercium oleh tetangganya, Rasulullah menyarankan untuk berbagi makanan tersebut dengan tetangga itu. Tak ada celah untuk bersikap individualis dan acuh terhadap sesama. Begitu juga dengan anjuran untuk berkata yang baik atau diam. Resep ini ampuh untuk mencegah terjadinya permusuhan yang bermula dari kata-kata.
“Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman. Para sahabat bertanya: “Siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Seorang yang tetangganya tidak aman dari kejahilannya (gangguannya)” (HR. Bukhari).

Lalu hadits tentang bagaimana seharusnya seorang muslim harus mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Bahkan dikatakan bahwa belum beriman seseorang yang belum mampu bersikap mecintai saudaranya sesama muslim dengan baik. Anjuran untuk bertukar hadiah agar terpupuk rasa kasih sayang satu sama lain. Bahkan salah satu kunci surga adalah berhubungan erat dengan hal mencintai ini:
"Siapa saja yang suka diselamatkan dari api neraka dan masuk ke dalam surga. Meninggalnya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan memperlakukan manusia sebagaimana ia ingin diperlakukan oleh mereka" (HR. Muslim).
Jadi, tulalit banget kalo masih ada seorang muslim yang belum ngeh terhadap ajaran cinta dari agamanya sendiri. Rasulullah Muhammad itu adalah manusia sempurna yang penuh cinta. Darinya saja kita belajar mencintai dan memaknai arti cinta. Rasulullah mengajarkan kita cinta tanpa kepalsuan. Beda banget dengan budaya kafir yang di satu pihak bilang cinta namun di pihak lain hobi membantai manusia terutama kaum muslimin. Kamu masih ingat kan pembantaian Gaza di Palestina oleh Israel yang didukung penuh oleh Amerika? Padahal jelas-jelas Amerika inilah yang promo tentang hari kasih sayang bernama Valentine. Jadi, antara omongan dengan perbuatan, gak nyambung!
Menjelang Maulid Nabi Besar sepanjang zaman Muhammad SAW, yuk kita ikuti ajaran cinta beliau yang tertuang dalam ajaran dinul Islam. Bila kita sudah punya yang sempurna, kita tak butuh ajaran lain yang cuma omdo alias omong doing semisal perayaan Valentine. Kita cuma mau mengamalkan yang dari Islam saja karena cinta nyata yang ada hanya berasal dari Islam juga, bukan yang lain. Ingat itu ya ^_^

[riafariana/voa-islam.com]

read more

Sabtu, 27 November 2010

Ibu Bermata Satu

Sabtu, 27 November 2010
0 komentar
Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku membencinya sungguh memalukan. Ia menjadi juru masak di sekolah, untuk membiayai keluarga. Suatu hari ketika aku masih SD, ibuku datang. Aku sangat malu. Mengapa ia lakukan ini? Aku memandangnya dengan penuh kebencian dan melarikan. Keesokan harinya di sekolah

“Ibumu hanya punya satu mata?!?!” Ieeeeee, jerit seorang temanku. Aku berharap ibuku lenyap dari muka bumi. Ujarku pada ibu, “Bu. Mengapa Ibu tidak punya satu mata lainnya? Kalau Ibu hanya ingin membuatkuditertawak an, lebih baik Ibu mati saja!!!” Ibuku tidak menyahut.

Aku merasa agak tidak enak, tapi pada saat yang bersamaan, lega rasanya sudah mengungkapkan apa yang ingin sekali kukatakan selama ini. Mungkin karena Ibu tidak menghukumku, tapi aku tak berpikir sama sekali bahwaperasaannya sangat terluka karenaku.

Malam itu.. Aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku sedang menangis, tanpa suara, seakan-akan ia takut aku akan terbangun karenanya. Aku memandangnya sejenak, dan kemudian berlalu. Akibat perkataanku tadi, hatiku tertusuk. Walaupun begitu, aku membenci ibuku yang sedang menangis dengan satu matanya. Jadi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan tumbuh dewasa dan menjadi orang yang sukses.

Kemudian aku belajar dengan tekun. Kutinggalkan ibuku dan pergi ke Singapura untuk menuntut ilmu. Lalu aku pun menikah. Aku membeli rumah. Kemudian akupun memiliki anak.
Kini aku hidup dengan bahagia sebagai seorang yang sukses. Aku menyukai tempat tinggalku karena tidak membuatku teringat akan ibuku. 

Kebahagian ini bertambah terus dan terus, ketika..
Apa?! Siapa ini?! Itu ibuku. Masih dengan satu matanya. Seakan-akan langit runtuh menimpaku. Bahkan anak-anakku berlari ketakutan, ngeri melihat mata Ibuku.
Kataku, “Siapa kamu?! Aku tak mengenal dirimu!!” Untuk membuatnya lebih dramatis, aku berteriak padanya, “Berani-beraninya kamu datang ke sini dan menakuti anak-anakku! !” “KELUAR DARI SINI! SEKARANG!!”

Ibuku hanya menjawab perlahan, “Oh, maaf. Sepertinya saya salah alamat,” dan ia pun berlalu. Untung saja ia tidak mengenaliku. Aku sungguh lega. Aku tak peduli lagi. Akupun menjadi sangat lega.

Suatu hari, sepucuk surat undangan reuni sekolah tiba di rumahku di Singapura. Aku berbohong pada istriku bahwa aku ada urusan kantor. Akupun pergi ke sana . Setelah reuni, aku mampir ke gubuk tua, yang dulu aku sebut rumah.. Hanya ingin tahu saja. Di sana , kutemukan ibuku tergeletak dilantai yang dingin. Namun aku tak meneteskan air mata sedikit pun. Ada selembar kertas di tangannya. Sepucuk surat untukku.

“Anakku..Kurasa hidupku sudah cukup panjang.. Dan..aku tidak akan pergi ke Singapura lagi.. Namun apakah berlebihan jika aku ingin kau menjengukku sesekali? Aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat gembira ketika tahu kau akan datang ke reuni itu. Tapi kuputuskan aku tidak pergi ke sekolah. Demi kau.. Dan aku minta maaf karena hanya membuatmu malu dengan satu mataku.

Kau tahu, ketika kau masih sangat kecil, kau mengalami kecelakaan dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tak tahan melihatmu tumbuh hanya dengan satu mata. Maka aku berikan mataku untukmu.Aku sangat bangga padamu yang telah melihat seluruh dunia untukku, ditempatku, dengan mata itu. Aku tak pernah marah atas semua kelakuanmu. Ketika kau marah padaku.. Aku hanya membatin sendiri, “Itu karena ia mencintaiku” Anakku! Oh, anakku!”

Pesan ini memiliki arti yang mendalam dan disebarkan agar orang ingat bahwa kebaikan yang mereka nikmati itu adalah karena kebaikan orang lain secara langsung maupun tak langsung. Berhentilah sejenak dan renungi hidupAnda!

Bersyukurlah atas apa yang Anda miliki sekarang dibandingkan apa yang tidak dimiliki oleh jutaan orang lain! Luangkan waktu untuk mendoakan ibu Anda!

read more
 

SAHABAT

POSTINGAN TERPOPULER